Minggu, 28 Juli 2013

Geliat PSP Kota Solo: Daun Muda, Konsumsi Segar STW


Wajah Baron pun berseri tatkala menerima pesan singkat dari ponsel miliknya. “BiasaMbak, pelanggan, wanita setengah tua (STW),” Saat itu dia tengah menerima pesanan pekerja seks pria (PSP) dari para pelanggannya.
Jika mendengar kata pekerja seks komersial (PSK), apakah yang langsungterlintas dalam pikiran anda? Kebanyakan dari anda akan membayangkan seorang wanita berpakaian seksi dan berdandan seronok, yang sering berkeliaran di malam hari untuk mencari lelaki hidung belang. Pernahkah terbersit dalam benak bahwa seorang PSK adalah laki-laki, masih muda, berpakaian modis, dan bertingkah laku wajar ? Ya, pekerja seks pria (PSP) atau yang lazim disebut ‘gigolo’ memang tidak terlalu jamak di kalangan masyarakat. Biasanya pemakai jasa PSP adalah orang-orang golongan atas yang tinggal di kota-kota besar. Namun, tahukah Anda jika PSP juga sangat mudah ditemui di kota Solo ini?
Bersama seorang kawan lama yang mengenal para pelaku ‘dunia hitam’, saya mencoba menelusuri keberadaan mereka di kawasan Solo Utara, wilayah yang cukup terkenal sebagai “kawasan lampu merah Kota Solo”. Jarum jam kala itu menunjukkan pukul 21.30 WIB. Suasana di sebuah warung hik di ‘daerah X’ terasa lengang sekalipun hari itu adalah malam Minggu. Hanya ada beberapa pembeli yang membeli minuman dan beberapa camilan untuk dibungkus. Maklum, hujan tak henti-hentinya mengguyur wilayah Solo Utara sejak sore hari. Saat itu empat pekerja seks pria (PSP) sedang berada di warung tersebut, menikmati minuman hangat dan rokok untuk sekedar mengusir rasa dingin.
Sebut saja mereka Baron (36), Agung (28), Hendi (31), dan Nano (19)–(bukan nama sebenarnya). Tidak ada yang mencolok dari diri mereka. Gaya berpakaian mereka seperti gaya berpakaian laki-laki pada umumnya. Tingkah laku mereka pun juga biasa saja, Saat saya datang, nampak raut wajah mereka tegang menaruh kecurigaan pada saya. Pertanyaan yang saya lontarkan banyak yang hanya mendapat jawaban singkat. Selebihnya, hanyalah anggukan dan gelengan kepala saja. Sering mereka hanya diam saja, tidak menanggapi pertanyaan saya. Kawan saya pun mencoba melakukan pendekatan kepada para PSP tersebut yang memang terkenal tidak mau banyak omong dengan orang asing.
Saya mencoba menggunakan bahasa Jawa untuk berbicara dengan mereka. Ternyata usaha tersebut berhasil. Mereka bisa sedikit terbuka pada saya. “Ajeng diengge napa to mbak?,” (mau dipakai untuk apa to mbak?) tanya Baron. Saat itu nyali saya sedikit menciut juga, apalagi melihat postur tubuh mereka yang tinggi besar. Saya menjelaskan tujuan wawancara ini untuk mengetahui kehidupan mereka secara lebih dalam. “Sik mbak, tokna barang-barangmu kabeh! Wah mbak, yen arep takon-takon thok, awake dhewe gelem wae, ning aja di photo,” (Sebentar mbak kaluarkan semua barang yang kamu bawa ! Wah mbak, kalau hanya bertanya-tanya, kita bersedia, tapi jangan difoto) tegas Baron. “Mbak, gelem ora mbayari aku karo kanca-kancaku mangan ?,” (Mbak, mau tidak mentraktir saya dan teman-teman saya makan ?) lanjutnya kemudian. Saya menyetujui permintaan itu. Mereka pun langsung mengambil makanan yang disajikan di warung hik tersebut.
Dari Mulut ke Mulut
Sambil menikmati sajian di warung hik, mereka bercerita tentang bisnis PSP di Solo. Pada awalnya Baron dan Hendi adalah PSP di kota-kota besar. Beberapa kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Makassar, Denpasar, Yogyakarta sudah pernah mereka sambangi. Baron terjun ke dalam dunia ini sejak 7 tahun yang lalu, sedangkan Hendi sudah 5 tahun menggeluti profesi ini. Mereka adalah pemain lama di bisnis prostitusi pria. Lain halnya dengan Agung dan Nano, mereka baru sekitar dua tahun berada di bisnis ini.
Baron berperan sebagai ‘germo’ bagi mereka bertiga. Dialah yang bertugas mengatur jadwal para PSP untuk melayani tamu. Hingga saat ini dia sudah mempunyai 11 anak buah, termasuk Agung, Nano dan Hendi. Mereka ditampung di sebuah rumah di samping rumah Baron. “Saya juga harus pinter-pinter ngatur jadwal dan tamu buat mereka, 11 anak buah saya itu. Kalau nggak pinter-pinter ngatur bisa rame,” katanya. “Pelanggan cukup sms saja ke nomor hp saya, nanti saya datangi mereka, saya kasih fotonya, biar pelanggan sendiri yang memilih. Kalau yang udah pengalaman malah bisa ngatur jadwal sendiri, cari pelanggan sendiri,” terangnya.
Diantara sekian banyak anak buah Baron, hanya Hendi yang sudah banyak makan asam garam melakoni profesi ini. Jangka waktu 5 tahun sudah cukup membuat dia berpengalaman dalam mencari pelanggan. Kadang jika tidak ada tugas dari ‘si bos’ -panggilan anak buahnya kepada Baron- ia dan PSP lain yang juga sudah berpengalaman dibebaskan mencari pelanggan sendiri. Jika Baron menugaskan seorang anak buah, ia meminta jasa 30 persen dari penghasilan anak buahnya dalam melayani satu tamu. Namun, jika anak buahnya mencari pelanggan sendiri tanpa jasa darinya, maka ia tidak memungut jasa dari mereka. Berbeda dengan germo lain yang tetap mengharuskan anak buahnya membayar fee jika mendapat ‘tamu pribadi’.
Bisnis PSP memang sangat berbeda dengan PSK wanita yang dengan mudahnya diketahui oleh orang awam. Jaringan mereka sangat rapi dan jarang ada orang yang mengetahui atau mencurigai keberadaan bisnis prostitusi pria. Mungkin dari segi penampilan serta sikap mereka yang seperti masyarakat umum  membuat mereka tidak mudah dicurigai. Dinas terkait seperti Kepolisian, Satpol PP dan, Dinas Sosial juga jarang bahkan hampir tidak pernah menjaring para PSP ini. Dalam menawarkan jasanya pun mereka juga tidak sembarangan. Jarang sekali mereka menawarkan jasanya dengan turun ke jalanan seperti yang dilakukan oleh PSK wanita.
Para PSP ini lebih sering menawarkan jasa mereka dari mulut ke mulut. Terkadang mereka juga beriklan di media massa menggunakan kedok ‘massage pria’, tetapi tidak sebanyak penawaran dari mulut ke mulut. Biasanya para pelanggan baru mengetahui jasa PSP dari para pelanggan lama. Para pelanggan tinggal mengirimkan pesan singkat atau menelepon ke germo. Kemudian germo membawa foto anak buahnya kepada para pelanggan, lalu pelanggan bebas memilih PSP yang mereka inginkan. Sang germo tinggal mengatur jadwal dan tempat pertemuan antara pelanggan dengan PSP. Tetapi ada pula pelanggan yang langsung menghubungi PSP yang mereka inginkan. Biasanya mereka ini adalah pelanggan lama.
“Lebih banyak dibooking kita mbak. Nongkrong kalau pas sepi ajanggak kayak lonthe sing keluyuran terus,” terang Baron. Saat saya bertanya tempat-tempat mana saja yang biasanya mereka datangi jika nongkrong, ia mengatakan kawasan Sriwedari, Terminal Tirtonadi, Stasiun Balapan, Gilingan, mal, kafe, serta restoran menjadi tempat favorit mereka. Namun, tak selamanya mereka nongkrong jika sepi pelanggan. Terkadang jika jenuh mereka juga sering pergi untuk sekedar melepas penat. “Yah kadang kalau pas boring aja nongkrong Mbak. Kadang juga dapet mangsa. Sambil menyelam minum air lah. Yah kalo ada tante lewat yah disapa. Kalo mereka nanggepin, biasanya sering make. Kadang ada juga yang tahu kita ini bisa dicoba,” tutur Nano.
Tarif yang dikenakan pun beragam, tergantung kepada kelas PSP dan jenis layanannya. “Rp 150.000-Rp 500.000, tapi kalau pas bubruk atau nggak ada pelanggan sama sekali ya banting harga,” ucap Baron. “Saya pernah banting harga hingga Rp 15.000,” kata Agung menimpali. Harga tersebut adalah tarif pelayanan per jam. Untuk harga booking luar kota tarif yang dipatok bisa lebih tinggi lagi. Terkadang juga ada tip yang diberikan oleh pelanggan kepada PSP yang melayaninya. Tip tersebut diberikan diluar harga jasa layanan yang telah ditetapkan.
Para pelanggan PSP ini berasal dari berbagai kalangan. “Ada yang istri pejabat, istri pengusaha, orang biasa juga ada. Macem-macem, siapapun boleh pakai asal ada uang,” tegas Baron. Prinsip ‘asal ada uang’ itulah yang menbuat mereka mau melayani siapapun. Tak peduli dari kalangan atas maupun bawah. Walaupun kebanyakan pemakai jasa gigolo adalah perempuan kelas atas yang kesepian. Tak jarang gigolo juga menjadi simpanan para wanita kalangan atas. Namun, sesekali mereka juga melayani lelaki. Hanya saja tidak sesering melayani pelanggan perempuan. “Kalau orangnya cocok, dan bayaranya cocok sih oke aja,” kata Nano lirih. PSP fleksibel melayani perempuan maupun laki-laki.
Peredaran PSP di Kota Solo, sekalipun tidak terlalu marak seperti di kota-kota besar lainnya seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya, namun jasa PSP nampaknya cukup diminati di Solo. Baron menuturkan jika di daerah Nusukan dan Gilingan saja ada sekitar 30 orang yang ia ketahui. Itu pun yang tergabung di bawah germo, belum lagi para PSP freelance. Padahal menurut Baron, tempat penampungan PSP tidak hanya di kawasan Solo Utara saja. Namun, ia enggan menjelaskan di mana saja tempat penampungan PSP selain di kawasan tersebut.
Antara Kebutuhan dan Kepuasan
Malam semakin larut, mereka masih asyik bercerita sambil menyeruput minuman panas dan merokok untuk mengusir hawa dingin yang semakin menusuk tulang. Hujan sudah mulai berhenti, hanya tinggal titik-titik air yang membasahi sebagian bangku tempat kami duduk. Mereka bercerita tentang awal mula mereka terjun ke dunia prostitusi. Adalah Agung yang berprofesi sebagai pedagang. Ia mengaku terpaksa menjadi PSP karena ingin mencukupi kebutuhan perekonomian keluarganya. Ia menjadi tulang punggung keluarganya sejak ayahnya meninggal lima tahun silam. Uang yang didapat dari hasil berjualan sayur dirasa tidak cukup untuk menyekolahkan adik-adiknya yang berjumlah empat orang. Bahkan salah seorang adiknya tengah duduk di bangku kelas tiga sebuah Sekolah Menengah Kejuruan kala itu.
Karena hal itulah Agung memutuskan untuk menjajal profesi sampingan sebagai PSP sejak dua tahun lalu. Awalnya ia ditawari oleh salah seorang kawannya yang juga anak buah Baron. Hingga saat ini Agung juga masih menjadi pedagang. Profesi sebagai PSP dilakukan setelah ia selesai berjualan. “Ben ra ketok welo-welo,” (supaya tidak terlalu kentara), katanya. Ia tidak ingin pekerjaan sampingannya diketahui oleh orang-orang terdekatnya, termasuk keluarganya. Setali tiga uang dengan Agung, Nano juga mengaku terpaksa melakukan pekerjaan ini. “Sebenarnya kalau saya kerja seperti ini karena terpaksa. Untuk membiayai orang tua berobat. Saya dari desa di Kabupeten Boyolali, pekerjaan sebagai buruh nggak cukup untuk membiayai berobat orang tua. Terpaksalah saya ambil jalan ini,” katanya sambil tertunduk.
Terlepas dari benar tidaknya pengakuan mereka berdua, masuk akal juga jika mereka mengunakan alasan tersebut. Di zaman sekarang ini segala barang kebutuhan pokok sangat mahal. Terlebih lagi biaya pendidikan dan kesehatan. Agung terjun ke dalam dunia prostitusi demi adik-adiknya bisa mengenyam bangku pendidikan, sedangkan Nano berusaha memenuhi biaya pengobatan orang tuanya. Ayah Nano menderita penyakit diabetes, sedangkan ibunya sudah lama menderita penyakit ginjal. Sekalipun demikian, mereka tetap tidak ingin keluarganya mengetahui bahwa mereka menjadi PSP.
Nampaknya menjadi PSP benar-benar bisa mencukupi kebutuhan mereka, bahkan mungkin lebih. Mereka bisa berpenampilan trendi seperti anak-anak muda kelas atas. Sepatu, kaos, t-shirt, arloji bermerek, serta sepeda motor keluaran terbaru menjadi simbol kemapanan mereka. Keluaraga mereka tidak menaruh curiga akan barang-barang tersebut. Para PSP ini menutupi kecurigaan keluarga mereka dengan mengatakan mereka bekerja sampingan, namun mereka tidak menyebutkan apa pekerjaan sampingannya. Keluarga hanya mengatakan kepada tetangga kalau anak-anaknya sukses bekerja di kota. “Asal kebutuhan tercukupi, mereka nggak akan tanya macam-macam,” tutur Agung.
Baron sang bos pun melakoni pekerjaan sebagai germo juga untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Istri dan anaknya mengetahui pekerjaannya, namun menurutnya mereka cuek saja. Istri, anak maupun kerabatnya yang lain tidak pernah protes terhadap pekerjaannya. Dia tidak memiliki pekerjaan lain selain sebagai germo. Istrinya pun juga tidak bekerja. “Nggak protes, karena hasil dari kerja gini banyak, dan mereka juga menikmati. Lagian istri saya juga nggak kerja,” jelasnya.
Alasan lain yang agak menggelitik diungkapkan oleh Hendi. Dia memilih menjadi gigolo untuk kepuasan batin. Dia mengaku senang dan mendapat kepuasan saat melayani para pelanggannya. Menurut Hendi, dengan melayani pelanggan dia tidak hanya memperoleh kepuasan secara material tetapi juga seksual. Dia mengaku senang jika dibooking oleh perempuan kaya. “Orang kaya biarpun sudah tua tapi masih tetap cantik. Mereka juga sering kasih uang banyak,” tuturnya. Saya mengamati lebih detil penampilan Hendi. Pandangan mata saya tertumbuk pada sepatu bermerk ‘Kickers’ yang dipakainya, sepatu dengan harga sangat mahal yang hampir mustahil jika dibeli dengan gaji orang biasa. Jika diamati, Hendi memang memiliki fisik yang paling menonjol dibandingkan dengan kedua rekannya sesama PSP. Kulitnya yang putih bersih, wajah tampan, dan postur tubuh atletis, membuat dia mudah menjaring pelanggan. Apalagi ditunjang dengan ‘tunggangannya’, sebuah motor Kawasaki Ninja 250 cc.
Melihat fenomena ini, Psikolog Arista Adi Nugroho, S.Psi, saat ditemui di sebuah acara menerangkan, ada banyak alasan seseorang untuk terjun ke dunia prostitusi. “Ada yang karena masalah ekonomi, trauma karena pernah mengalami pelecehan seksual, atau penyimpangan perilaku seksual,” terangnya. Menurutnya, orang yang sudah masuk ke prostitusi akan sulit untuk keluar dari dunia itu. Ada banyak faktor yang menyebabkan mereka enggan meninggalkan profesi sebagai pekerja seks. Faktor yang terbesar adalah mereka bisa mendapatkan banyak keuntungan materi dari profesi tersebut. Apalagi alasan seseorang menjadi pekerja seks karena terdesak oleh kebutuhan ekonomi. Selain itu juga karena mereka sudah terbiasa hidup di lingkungan itu. “Tetapi dengan pendampingan yang maksimal, mungkin ada yang bisa terbebas dari prostitusi,”
Memang tak bisa dipungkiri, menjadi PSP yang melayani pelanggan orang-orang kaya bisa membuat perekonomian mereka naik drastis. Tak peduli siapa yang menggunakan jasa mereka. Entah itu pria ataupun wanita, asalkan bisa membayar sejumlah uang kepada para PSP tersebut, pelanggan bisa menggunakan jasa mereka. Para pekerja prostitusi seperti mereka mau melayani siapapun dengan cara apapun, asalkan dibayar dengan sejumlah uang yang sesuai dengan pelayanannya.
Rentan Penyakit Seks Menular
Saat saya bertanya tentang penyuluhan kesehatan seksual bagi para PSP, mereka serempak menggelengkan kepala. Adalah hal yang aneh, mengingat selama ini PSK wanita sering mendapat penyuluhan kesehatan seksual, baik dari Dinas Kesehatan Kota maupun dari LSM-LSM yang peduli terhadap pekerja seks. Sedangkan PSP yang juga sama-sama pekerja seks kurang mendapatkan pemahaman mengenai kesehatan reproduksi. “Kalau ada aktivis, kita cuma dibagi kondom aja, nggak ada penyuluhan. Kita juga jarang, malah nggak pernah pake kondom. Soalnya pelanggan nggak suka sih,” kata Agung.
Sikap enggan memakai kondom ketika berhubungan, selain dipicu oleh  pelanggan yang tidak puas jika memakai kondom, juga karena posisi tawar PSP yang lemah. Mereka harus mau melayani apapun yang diinginkan pelanggan karena mereka sudah dibayar. Sekali lagi, mereka harus kalah dengan uang. Kembali lagi kepada prinsip mereka, jika ada uang semua bisa pakai. Hal ini sering diartikan oleh pelanggan bahwa PSP harus melayani semua keinginan mereka, termasuk tidak memakai kondom saat berhubungan. Menurut Agung,
jarang ada PSP yang pakai kondom ketika berhubungan.
Kurangnya pendampingan terhdap PSP, keengganan menggunakan kondom, dan kurang sadar akan bahaya penyakit seks menular, membuat PSP berpotensi menularkan penyakit kepada pria dan wanita. Karena mereka tidak hanya melayani wanita saja tetapi juga laki-laki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar